Jumat, 23 September 2011

pengertian paradigma


Paradigma dan perspektif Utama
Menurut Guba ( 1990, hlm. 17) mendefinisikan paradigma yaitu sebagai serangkaian keyakinan dasar yang membimbing tindakan. Paradigma berurusan dengan prinsip prinsip pertama , atau prinsip prinsip dasar. Paradigm kostruksi manusia. Namun terdapat perbedaan antara paradigma kaum positivis dan kaum post- positivis mempunyai latar belakang yang berbeda tentang paradigma dan perspective. Egon Guba dan Yvonna Licolln menganalisis dua tradisi ini secara detail . ilmu pengetahuan kaum postivis konvensional menerapkan empat criteria guna menertibkan penelitian :validitas internal  derajat hasilParadigma dan Perspektif Utama.
Paradigma berurusan dengan prinsip-prinsip pertama, atau prinsip-prinsip dasar. Paradigma adalah konstruksi manusia. Paradigma menentukan pandangan dunia peneliti sebagai bricoluer. Suatu paradigma meliputi tiga elemen : Epistemologi, ontologi,dan metodologi. Epistemologi mengajukan pertanyaan, bagaiman kita mengetahui dunia ? hubungan apa yang muncul antara pentiliti dengan yang diketahui ? Ontologi memunculkan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfokuskan diri pada cara kita meraih pengetahuan tentang dunia. Guba dan Lincoln, menunjukan garis besar perbedaan utama paradigma antara kaum positivis, post-positivis, teori kritis dan kaum konstruktivis.
Warisan Kaum Positivisi
Epistemologi, Ontologi, Metodologi
            Kaum positivis konvensional menerapkan empat kriteria guna menertibkan penlitian : Validitias internal, derajat ketepatan hasil penelitian dalam memetakan fenomena yang dikaji; Validitas eksternal, derajat hasil penelitian yang dapat digeneralisasikan untuk berbagai setting lain yang sama dengan setting tempat berlangsungnya penelitian tersebut; reliabilitas, sejauh mana hasil penelitian dapat diulang, atau dihasilkan kembali, oleh peneliti yang lain; dan objektivitas, sejauh mana hasil penlitian bebas dari bias. Warisan kaum positivis dan post-positivis baru-baru ini telah menuai banyak kecaman. Guba dan Lincoln meninjau ulang kecaman-kecaman ini, menyatakan bahwa kedua paradigman tersebut tidak cukup mampu menjawab isu-isu berdimensi etis, emik, nomotetik, dan idiografik yang mengelilingi penelitian. Terlalu banyak makna lokal ( emic ) dan makna berbasis kasus ( idiografik ) yang dikesampingkan oleh posisi positivis nomotetik ( etik ) yang serba menggenarilisasi.
Konstruktivisme dan Teori Kritis.
            Konstruktivisme, seperti yang dipaparkan oleh Guba dan lincoln, mengadopsi ontologi kaum relativis ( ontologi relativisme ), epistemologi transaksional, dan metodologi hermeneutis atau dialetis. Tujuan-tujuan penelitian dari paradigma ini diarahkan untuk menghasilkan berbagai pemahaman yang bersifat rekonstruksi, yang didalamnya kriteria kaum positivis tradisional tenang validitas internal dan ekesternal digantikan dengan terma-terma sifat layak dipercaya ( trustworthiness ) dan otentisitas ( authenticity ). Thomas Schwandt tentang pendekatan konstruktivis dan interpretivis dalam bab 7 mengidentifikasi perbedaan dan aliran pemikiran utama yang ada dalam kedua pendekatan ini, yang dipersatukan oleh penentang keduanya terhadap positivisme dan komitmennya untuk mempelajari dunia dari sudut pandang individu yang berinteraksi. Namun kedua perspektif ini, seperti yang diyakini oleh Schwandt, lebih dibedakan oleh komitmennya pada soal-soal tentang cara mengetahui ( epistemologi ) dan wujud ( ontologi ) daripada oleh metodologi spesifiknya, yang pada dasarnya menegakkan pendekatan emik dan idiografik daripada oleh metodologi spesifiknya, yang pada dasarnya menegakkan pendekatan emik dan idiografik terhadap penelitian.
            Dalam bingkai Guba dan Lincoln, paradigma ini, dalam berbagai macam bentukanya, menegaskan sebuah ontologi yang didasarkan pada realisme historis, sebuah epistemologi, yang bersifat transaksional dan sebuah metodologi yang bersifat dialogis dan dialektis.
Perspektif Interpretif
            Masing-masing dari ketiga teori feminisme yang diidentifikasi oleh Virginia Olesan dalam Bab 9 ( epistemologi sudut pandang, kajian empiris, post-modernisme ), mengambil sikap berbeda terhadap tradisi kaum post-positivis. Para pakar Epistemologi sudut padang menolak “ metologi baku ilmu sosial yang baik  ( karena mereka ) menjadikan manusia sebagai objek.. Jika ( para ahli sosisologi ) bekerja dengan metode berpikr dan metode penelitian baku, mereka memasukkan relasi-relasi kekuasaan ke dalam teks yang mereka hasilkan.Dengan menggunakan studi kasus, observasi partisipan, wawancara, dan analisis kritis terhadap teks-teks sosial.
            Sebaliknya , feminisme empiris sejalan dengan bahasa kaum post-positivis tentang validitas, reliabitilitas, kredebelitias, berbagai strategi penelitian multimetode, dan sebagainya. Pada pengujian hipotesis, penjelasan, prediksi , hubungan sebab-akibat, dan standar keketatan konvensional, termasuk di dalamnya validitas iternal dan eksternal. Di sini tujuannya adalah untuk mengaplikasikan sepenuhnya metodologi kualitatif pada isu-isu feminis.
            Teori dan pemikiran feminis sedang menyusun ulang praktik-praktik penelitian kualitatif. Inilah yang terutama berlangsung pada pendekatan-pendekatan yang dibentuk oleh epistomologi sudut padang dan model-model kajian kebudayaan.
            Model-model penelitian etnis sekurang-kurangnya juga bergerak menuju tiga arah yang berbeda. Kaum empiris etnis tradisional menggunakan metode observasi partisipan, wawancara, dan studi kasus untuk menguji pengalaman – pengalaman nyata dari minoritas etnis tertentu.
            Model-model etnis Marxis dibangun di atas brbagai epistemologi sudut pandang smith dan lainnya unutk menguji secara eksplisit seberapa besar kebudayaan lokal dan “ ilmu pengetahuan lokal dapat menetralkan berbagai kecenderungan hegemonik dari ilmu pengetahuan yang disifati sebagai objek .” Model – model etnis post-modern mengelaborasi berbagai macam mdel kajian kebudayaan yang berbeda ntuk mengkaji cara-cara ras dan etnisitas secara paksa dimasukkan ke dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian Kualitatif

Perbedaan kuantitaif / Kualitatif
            “ Pandangan yang di terima “ tentang ilmu ( positivisme, berubah menjadi post positivisme  sepanjang berjalanan abad ini ) memfokuskan diri pada usaha-usaha untuk memverifikasi atau memfalsifikasi berbagai hipotesis a priori, yang paling bermanfaat dinyatakan sebagai proposisi ( kuantitatif ) matematus ata berbagai proposisi yang dapat dengan mudah dirubah ke dalam rumus-rumus eksak matematika yang menunjukkan hubungan fungsional ketepatan perumusan sangatlah bermanfaat ketika tujuan ilmu adalah untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena alam
            John Stuart Mill di sebut – sebut sebagai orang pertama yang mendorong para ahli ilmu sosial untuk mengungguli sepupu mereka yang lebih tua dan “ lebih keras ,” dengan menjanjikan bahwa apabila sarannya dituruti, maka pematangan pesat bidang – bidang keilmuan ini, sekaligus kebangkitan dari kungkungan filosifis dan teologis yang membatasi mereka, akan menyusul. Para ahli ilmu sosial benar-benar mengikuti saran tersebut.
Sifat Paradigma
Paradigma sebagai Sistem kepercayaan dasar yang didasarkan pada asumsi-asumsi ontologis, Epistemologis, dan metodologis.
Sebuah Paradigma bisa dipandang sebagai sekumpulan kepercayaan dasar  ( atau metafisika ) yang berurusan dengan prinsip-prinsip puncak atau pertama. Paradigma mewakili pandangan dunia yang menentukan, bagi pemakainnya, sifat “ dunia , “ tempat individu di dalamnya, dan rentang hubungannya yang dimungkinkan dengan dunia tersebut dan bagian – bagiannya, seperti misalnya , yang dilakukan oleh kosmologi dan teologi .
            Para peneliti, berbaga paradigma penelitian memberikan penjelasan tentang apa yang hendak mereka lakukan dan apa saja yang masuk dalam dan di luar batas-batas penilitian yang sah. Berbagai paradigma penelitian dapat diringkas berdasarkan jawaban-jawaban yang diberikan oleh para penganut sebuah paradigma tertentu untuk menjawab tiga pertanyaan fundamental, yang saling berkaitan erat sedemikian rupa sehingga jawaban yang diberikan untuk satu pertanyaan, apa pun susunannya , memaksa pola jawaban bagi dua pertanyaan lainnya.
1.      Pertanyaan Ontologis. Apakah bentuk dan sifat realitas dan, oleh karena itu, apakah ang ada di sana yang dapat diketahui tentangnya ? jika diasumsikan sebuah dunia “ nyata ,” sesuatu yang dapat diketahui tentangnya merupakan “bagaimana keadaan segala sesuatu itu yang sesungguhnya “ dan “ bagaimana cara kerja segala sesuatu itu yang sesungguhnya .”
2.      Pertanyaan Epistemologis. Apakah sifat yang terjalin antara yang mengetahui atau calon yang mengetahui dengan sesuatu yang dapat diketahui ? jawaban yang dapat diberikan untuk pertanyaan ini dibatasi oleh jawaban yang ditelah diberikan untuk pertayaan ontologis, diasumsikan suatu realitas yang  “ nyata ,“ sikap yang mengetahui haruslah berupa sikap keterpisahan objektif atau bebas nilai agar mampu menemukan “ bagaimana keadaan segala sesuatu itu yang sesungguhnya “ dan “ bagaimaan cara kerja segala sesuatu itu yang sesungguhnya .”
3.      Pertanyaan metodologis. Apa saja cara yang ditempuh penliti ( calin yang akan mengetahui ) untuk menemukan apapu yang ia percaya dapat diketahui ? sekali lagi jawaban yang dapat diberikan terhadap pertanyaan ini dibatasi oleh jawaban-jawaban yang telah diberikan untuk dua pertanyaan ; artinya, tidak sembarang metode yang sesuai. Misalnya , sebuah realitas “ nyata “ yang dikaji oleh seorang penliti yang “ obejektif “ memberikan kontrol terhadap faktor-faktor yang mungkin campur aduk, apakah metode tersebut merupaka metode kualitatif atau metode kuantitaif.
Tiga pertanyaan ini berperan sebagai fokus utama yang menjadi sumber analisis kami terhadap masing-masing dari keempat paradigma yang hendak dipertimbangkan.
Paradigma sebagai konstruksi Manusia
            Kami telah mengemumakan bahwa paradigma, sebagai sekumpulan kepercayaan dasar, sulit dibuktikan dalam pengertian konvesional; tidak ada cara untuk meningkatkan satu paradigma di atas paradigma yang lain berdasarkan kriteria puncak atau fundamen. Dengan mempertimbangkan cara yang mereka pilih untuk menjawab tiga pertanyaan pokok tersebut. Kami berpendapat sederet jawaban yang diberikan dipandang dari semua sisi adalah kontruksi manusia; artinya, sederet jawabann tersebut adalah cipataan pikiran manusia dan karenanya tunduk pada kesalahan manusia. Tidak ada konstruksi yang benar atau dapat menjadi benar tanpa memunculkan perdebatan; para pendukung konstruksi apa pun harus lebih bersandar pada sifat kepahaman dan kemanfaatan daripada pembuktian dalam mempertahankan posisi mereka



Kepercayaan kepercayaan dasar dalam paradigma penelitian yang diterima dan paradigma alternative
terma positivisme mengacu pada pandangan yang diterima yang telah mendominasi wacana formal dalam ilmu ilmu social dan ilmu ilmu fisik  , sementara post-positivisme  mewakili upaya upaya beberapa dasar warna lalu (untuk memberikan jawaban secara terbatas yakni pada saat masih berada dalam sederet kepervcayaan dasar yang sama) terhadap kritik yang paling probablematis dalam positivism , terma umum yang yang mengacu pada beberapa paradigma alternative yang mencakupdidalamnya namun tidak terbatas pada neo marxisme , feminisme , materialisme dan sendiri serta bermanfaat jika dibagi dalam tiga aliran
analisis Intraparadigma
kolom 1 : positivisme
ontology : realisme (secara umum disebut” realisme naïf”)  sebuah realitas yang bisa dipahami diasumsikan hadir , yang dikendalikan oleh hukum hukum alam mekanisme yang tak dapat diubah .
sedangkan dalam epitemologi : dualis dan objektivis , peneliti dan objek yang diteliti dianggap sebagai entitas yang terpisah , sedangkan peneliti dipandang mampu mempelajari objek tanpa mempengaruhi atau dipengaruhi olehnya
kolom 2 : post positivisme
ontology: realisme kritis . realitas diasumsikan ada namun tidak bisa dipahami secara sempurna karena pada dasarnya mekanisme intelektual manusia memiliki kecendrungan kekurangan sedangkan fenomena itu sendiri secara fundamental memiliki sifat yang tidak mudah diatur. Ontology disebut dengan realisme kritis
epistemology : dualis/objektifitas yang dimodifikasi dualisme sudah banyak ditinggalkan karena tidak mungkin lagi dipertahankan , tetapi objek tetap menjadi cita cita pemandu penekan khusus
metodologi eksperimental/ manipulative yang di modifikasi. Penekan diberikan kepada keragamaan keritis satu cara untuk mengklasifikasikan hipotesis
Kolom 3 : teori krits dan ideologis terkait
Ontology: realisme Historis. Sebuah realitas dianggap bisa dipahami pernah suatu berciri lentur, namun dari waktu ke waktu dibentuk oleh serangkaian factor social ,politik, budaya dan ekonomi, etnik gender, yang kemudian mengkristalkan kedalam serangkaian sebagai nyata
Epistomologi : transaksional dan subjektivitas peneliti dan objek yang diteliti terhubung secara interaktif, dengan nilai nilai peneliti mempengaruhi penelitian secara tak terhindarkan
Metodologi : dialogis dan dialektis. Sifat transaksional peneliti membutuhkan dialog antara peneliti dan subjek subjek penelitian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar